Jakarta: Revisi ketiga atas Undang-Undang tentang haji dan umrah yang tertuang dalam UU Nomor 14 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengalami berbagai perubahan yang sangat mendasar. Di antaranya pergeseran kewenangan Haji dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) hingga dilegalkankannya umrah mandiri tanpa perlu melibatkan jasa travel/Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU), travel yang diberi izin pemerintah mengurus umrah.
Hal ini membuat asosiasi organisasi travel haji-umrah keberatan. Sebab, berdampak mengubah ekosistem dan lanskap yang mengikis peran mereka
Jika dibedah lebih jauh, beleid tersebut bukan hanya melegalkan umrah mandiri, ternyata penyelenggaraan haji furoda dan haji dengan visa mujamalah atau undangan Pemerintah Arab Saudi yang selama ini dikenal dengan skema nonkuota atau di luar kuota resmi dari pemerintah Saudi, yang diberikan kepada pemerintah Indonesia juga bisa diurus secara mandiri oleh jemaah tanpa perlu melalui perantara jasa travel resmi/Penyelenggara Perjalanan Haji Khusus (PIHK).
Ketua Komnas Haji dan Umrah, Mustolih Siradj, menjelaskan, dalam Pasal 18 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Haji yang baru, jemaah hanya diwajibkan melaporkan visa dan paket layanan kepada menteri.
“Secara lengkap Pasal 18 ayat 1 dan 2 menyatakan visa haji Indonesia terdiri atas visa haji kuota dan visa haji nonkuota. Warga Negara Indonesia yang mendapatkan visa haji nonkuota sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib berangkat melalui PIHK atau melaporkan visa dan paket layanan kepada Menteri,” ungkap Mustolih, Kamis, 6 November 2025.
Pada bagian penjelasan yang dimaksud dengan visa haji nonkuota antara lain visa haji mujamalah, visa haji furoda, dan visa haji mandiri.
Ketentuan tersebut memberikan keleluasaan dan kemudahan penuh kepada masyarakat yang ingin berangkat haji ke tanah suci Mekkah bisa mengurus segala kebutuhahn haji secara mandiri dari mulai pengurusan dokumen, pengajuan visa, akomodasi, transportasi, konsumsi, hotel, penerbangan dan sebagainya.
“Legalisasi haji mandiri ini bisa mendorong masyarakat berbondong-bondong memburu visa non kuota untuk berangkat haji karena dianggap lebih murah dan tanpa perlu antre,” tegas Mustolih.
Konstruksi ini berbeda dengan aturan haji sebelum UU Nomor 8 Tahun 2019 diubah, di mana jemaah pemegang visa Mujamalah/ furoda yang merupakan kategori visa non kuota dibolehkan, namun keberangkatan mereka harus melalui melalui PIHK/ travel resmi yang telah mendapat izin pemerintah. PIHK kemudian melaporkan kepada Menteri.
Dengan adanya aturan baru ini tentu akan sangat berdampak kepada para travel yang selama ini mengurus haji furoda maupun visa mujamalah.
Oleh sebab itu, mengingat musim haji sudah semakin dekat dan agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan praktik di lapangan, Komnas Haji mendorong agar Kemenhaj melakukan sosialisasi kepada publik utamanya para pemangku kepentingan (stake holders) terkait perkembangan aturan-aturan baru tersebut, segera menerbitkan peraturan turunan dari UU Nomor 14 Tahun 2025 sampai dengan petunjuk teknis (juknis) agar tidak ada multitafsir dalam pelaksanaan regulasi.
“Hal yang tidak kalah penting mengajak ososiasi organisasi haji dan umrah duduk bersama untuk mengawal berjalannya aturan-aturan baru ini dengan baik sehingga ekosistem haji dan umrah berjalan positif,” ujar dia.